Guru Dan Kompetensi Sosial
GURU
DAN KOMPETENSI SOSIAL
Keberhasilan pembelajaran kepada
peserta didik sangat ditentukan oleh guru, karena guru adalah pemimpin
pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif
pembelajaran. Itulah sebabnya, guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan
dirinya. Guru perlu memiliki standar profesi dengan menguasai materi serta
strategi pembelajaran dan dapat mendorong siswanya untuk belajar
bersungguh-sungguh. Selain standar profesi, guru perlu memiliki standar sebagai
berikut:
- Standar intelektual: guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
- Standar fisik: guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan diri, peserta didik dan lingkungannya.
- Standar psikis: guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesionalnya.
- Standar mental: guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
- Standar moral: guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
- Standar sosial: guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
- Standar spiritual: guru harus beriman kepada Allah yang diwujudkan dalam ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat memperoleh hasil yang
baik dalam suatu rangkaian kegiatan pendidikan dan pembelajaran, seorang guru
dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu yang disebut juga kompetensi. Yang
dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan
perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Berarti kompetensi mengacu pada kemampuan
melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru
menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi
spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Kompetensi bagi guru untuk tujuan
pendidikan secara umum berkaitan dengan empat aspek, yaitu kompetensi: a)
paedagogik, b) profesional, c) kepribadian, d) sosial. Kompetensi ini bukanlah
suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan
belajar sepanjang hayat (lifelong learning process).
Kompetensi paedagogik dan
profesional meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan,
serta kemahiran untuk melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Kompetensi
ini dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan
profesi suatu lembaga pendidikan. Namun, kompetensi kepribadian dan sosial,
yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual
merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk
dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas.
Pengembangan kompetensi kepribadian
(personal) dan sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas
kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat
luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas. Padahal,
berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan “tempat yang bermasalah dan
berpenyakit masyarakat”, seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan
pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang
demikian, nilai-nilai yang telah diperoleh di lembaga pendidikan, dan telah
membentuk karakter peserta didik “yang baik” bisa luntur setelah berinteraksi
dengan masyarakat. Siaran televisi misalnya, sangat kuat pengaruhnya pada
budaya dan gaya hidup anak-anak, remaja dan pemuda. Contoh konkritnya, program
“Smack Down” yang telah memakan banyak korban, bahkan korbannya adalah
anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah sekolah dasar.
Dengan demikian guru tidak hanya
dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran,
memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang
luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang
mendalam tentang hakikat manusia, dan masyarakat.
B. KOMPETENSI SOSIAL SEORANG GURU
Ada empat pilar pendidikan yang akan
membuat manusia semakin maju:
- Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
- Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
- Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
- Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Tuhan Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa
kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang dimaksud dengan kompetensi
sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar
Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus
dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik;
bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Memang guru harus memiliki
pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai
teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi
pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus pandai
bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial,
memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan
membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan
tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu yang berkecimpung
dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki
kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu dan
ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya
untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering
dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai
yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan
bertempat tinggal.
Sebagai pribadi yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan
masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan.
Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi
kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
Bila guru memiliki kompetensi
sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan
kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa
perduli, empati dan simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan
sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada
lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membangun orang lain. Mereka santun
dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku.
Sumber kecerdasan adalah intelektual
sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal manusia. Dari akal muncul
kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu kecerdasan bicara
dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan
sosial.
Sosial inteligensi membentuk manusia
yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya yang menderita merupakan
penderitaan bersama. Sebaliknya apabila ada kebahagiaan menjadi/merupakan
kebahagiaan seluruh masyarakat. Dalam tingkatan nasional, sosial intelegensi
membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan
mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Cara mengembangkan kecerdasan sosial
di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap masalah, bermain peran,
kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam. Jika
kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan
dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga
mereka menjadi warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut
memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
C. KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN
Guru Kristen perlu memahami pribadi
Yesus sebagai guru yang harus diteladani-nya dalam hidup sehari-hari dan dalam
pelaksanaan tugas keguruan. Howard G. Hendricks mengemukakan bahwa sedikitnya
ada enam segi kehidupan Yesus yang senantiasa mengagumkan, yang perlu
diteladani oleh seorang guru Kristen. (1) Dalam segi kepribadian, Yesus
memperlihatkan kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut
kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian itu
terjadi dalam diri murid-murid-Nya. (2) Pengajaran-Nya sederhana, realistis,
tidak mengambang. Ajaran-Nya selalu sederhana dalam arti menyinggung
perkara-perkara hidup sehari-hari. 3) Ia sangat relasional, dalam arti
mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. 4) Isi berita-Nya bersumber
dari Dia yang mengutus-Nya (Mat. 11:27; Yoh. 5:19). Selain tetap relevan bagi
pendengar-Nya, ajaran Yesus bersifat otoritatif dan efektif (Mat. 7:28-29). 5)
Motivasi kerja-Nya adalah kasih (Yoh. 1:14; Flp. 2:5-11). Ia menerima orang
sebagaimana adanya, serta mendorong mereka untuk berserah kepada Allah. 6) Metode-Nya
bervariasi, namun sangat kreatif. Ia bertanya dan bercerita. Ia melibatkan
orang untuk memikirkan masalah yang diajukan. Selain itu, Ia mengenal orang
yang dilayani-Nya, tingkat perkembangan serta kerohanian mereka.
Salah satu keteladanan Yesus seperti
yang dikemukakan oleh Hendricks, ialah: Ia sangat relasional, mementingkan
hubungan antar pribadi yang harmonis. Salah satu julukan Yesus adalah: sahabat
orang berdosa (Mat. 11:19). Walaupun Yesus suci dan tidak pernah berdosa, Ia
tidak mengisolir diri dan hanya bergaul dengan “komplotan suci”, tapi justru Ia
menjalin relasi secara luas dengan banyak orang, untuk menjangkau sebanyak
mungkin orang agar mereka menerima keselamatan kekal.
Tujuan hidup orang percaya adalah
transformasi (perubahan) ke arah keserupaan dengan Kristus. Transformasi
terjadi melalui dan dalam hubungan antar pribadi yang penuh dedikasi dan
komitmen (transaksi sosial). Maksudnya, orang harus memberikan tekad untuk rela
bersekutu dengan sesamanya, agar ia dapat menerima atau memberi pengaruh yang
positif. Pengkomunikasian hidup secara efektif terjadi dalam konteks relasi
antar pribadi yang baik. Relasi antar pribadi yang baik melancarkan komunikasi
gagasan dan nilai. Kalau hubungan seorang guru sangat baik dengan atau berkenan
bagi peserta didiknya, maka pengajarannya akan mendapat tanggapan sangat
positif.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk
mendidik para murid yang dipercayakan kepadanya, seorang guru Kristen
diharuskan mengenal muridnya, tidak hanya kemampuan akademisnya, akan tetapi mengenal
nama, perilaku, emosi, latar belakang sosial dan budaya, keluarga, ketrampilan
lain yang dimiliki murid, ataupun masalah yang dihadapi oleh murid sebagai
individu atau sekelompok murid. Pengenalan murid secara baik oleh guru
sesungguhnya akan membantu guru dalam membina muridnya secara individu, maupun
secara kelompok. Jika guru mengenal murid secara baik untuk dapat memberikan
pelayanan yang terbaik kepada murid, maka murid merasa bahwa kepentingan atau
kebutuhan mereka diperhatikan oleh guru.
Melihat betapa pentingnya lingkungan
sosial dalam kehidupan, maka pendidikan kristiani dalam sekolah harus
memikirkan bagaimana ia berfungsi sebagai rekan kerja keluarga dan rekan kerja
gereja serta rekan kerja bangsa dalam membentuk serta membekali anak didik.
Sekolah Kristen pada dasarnya merupakan wakil keluarga dan wakil gereja dalam
memperlengkapi anak didik. Guru dan staf administrasi dengan begitu harus
bertumbuh dalam sikap kebapaan atau keibuan sebagaimana yang diteladankan oleh
rasul Paulus dalam pembinaan jemaat di Tesalonika. Sebagai ibu, para guru
memelihara dan merawat anak didiknya dan sebagai bapa, mereka menasehati dengan
bijak (I Tes. 1:7,11).
Terkait dengan hakekat manusia
sebagai makhluk sosial, Allah sendiri membagun keluarga sebagai konteks sosial
pertumbuhan anak (fungsi sosialisasi). Dia menciptakan umat, masyarakat dan
bangsa untuk pertumbuhan individu dan kelompok. Dia pun menjadikan gereja
sebagai wadah pertumbuhan individu dalam berbagai aspek. Komunitas dalam jemaat
terpanggil untuk saling melengkapi, saling menasehati, saling mengajari (Kol.
3:15-16). Dinasehatkan pula oleh Alkitab agar orang percaya tidak menjauhi
pertemuan-pertemuan dengan sesamanya demi pertumbuhan spiritualitasnya (Ibr.
10:24-25).
Dengan demikian seorang guru Kristen
tidak boleh hanya membatasi hubungan dirinya hanya dalam kelas, ketika dia
mengajar. Dia juga harus terlibat secara langsung dalam kehidupan berjemaat
dalam sebuah gereja lokal. Dia juga harus menjadi bagian dari dinamika hidup
yang relasional dalam tubuh Kristus yang semestinya diwarnai oleh kasih dan
keakraban hubungan. Maksudnya, jika orang-orang yang berinteraksi dalam jemaat
didorong oleh kasih yang tulus, mereka akan bersedia membina hubungan yang
akrab. Dalam relasi demikian, banyak perkara iman dapat dipelajari. Dengan
begitu, pendidikan Kristen harus memberi perhatian terhadap jemaat sebagai
tubuh Kristus. Guru Kristen perlu terlibat dalam pelayanan jemaat. Ia dituntut
untuk melibatkan diri dalam relasi antar pribadi. Sebagai pribadi ia terpanggil
untuk terlibat dalam sharing, kunjungan jemaat, dan dalam
pertemuan-pertemuan tertentu. Ia mengupayakan pembinaan orang-orang percaya
yang selanjutnya dapat melaksanakan tugas pemuridan dengan kerelaan melayani
sebagai hamba dan kesediaan memberi diri sebagai “model” atau teladan. Dengan
demikian, pendidikan Kristen harus mengupayakan pemuridan lewat identifikasi,
yakni saling mengamati gaya hidup sesama dalam artian positif, bukan hanya
berupa pengajaran di kelas sekolah secara formal.
DAFTAR
PUSTAKA: Gangel,
Kenneth O; Hendricks, Howard. The Christian Educator’s Handbook on Teaching,
Victor Books, 1988. Sidjabat, B.S. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta:
ANDI, 1994. ________. Menjadi Guru Profesional: Sebuah Persfektif Kristiani,
Bandung : Kalam Hidup, 1994. Mulyasa, E. Standaar Kompetensi dan Sertifikasi
Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008. Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi
Keguruan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada, 2006.dahMulmungkkoeratif
Guru Dan Kompetensi Sosial
Reviewed by RA ALMAWADDAH
on
07.00
Rating:
Post a Comment