KEPEMIMPINAN : TAFSIR SURAT ANNUUR AYAT 55
Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullâh (wafat: 310-H) mengatakan:
وذُكر أن هذه الآية نزلت على رسول
الله صلى الله عليه وسلم من أجل شكاية بعض أصحابه إليه في بعض الأوقات التي كانوا
فيها من العدوّ في خوف شديد مما هم فيه من الرعب والخوف، وما يلقون بسبب ذلك من الأذى
والمكروه
“Disebutkan bahwa ayat ini turun
kepada Rasulullâh r dikarenakan keluh kesah sebagian sahabat beliau pada
beberapa kejadian memilukan yang menimpa mereka dari pihak musuh, berupa rasa
takut yang mencekam dan menteror, berupa gangguan dan hal-hal menyusahkan yang
mereka jumpai karena kejadian-kejadian memilukan tersebut.” [Tafsîr
ath-Thabari: 19/209[1][3]]
Imâm as-Sam’âni asy-Syâfi’i rahimahullâh
(wafat: 489-H) mengatakan:
وَذكر بعض أهل التَّفْسِير: أَن
أَصْحَاب رَسُول الله تمنوا أَن يظهروا على مَكَّة، فَأنْزل الله تَعَالَى هَذِه
الْآيَة
“Sebagian ahli tafsir menyebutkan
bahwa para Sahabat Rasulullâh r berangan-angan untuk menguasai Makkah (yang saat itu tengah
dikuasai oleh orang-orang musyrik), maka Allah menurunkan ayat ini.” [Tafsîr
as-Sam’âni: 3/544[2][4]]
Tafsir
Ayat Secara Ringkas
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa
dalam ayat yang mulia ini, sebenarnya terdapat sumpah Allah yang tersirat dari
ungkapan “layastakhlifannahum….dst” yang diistilahkan oleh pakar bahasa
al-Qur’an sebagai jawâbul-qasm (jawaban sumpah). Lalu apa sumpah Allah
tersebut? Dia bersumpah akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal
shalih sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan
syari’at-Nya[3][5].
Dia telah membuktikan sumpah
tersebut pada umat-umat sebelumnya, saat Dia menganugerahkan kekuatan dan
kekuasaan kepada Sulaiman dan Daud ‘alaihimassalâm, dankepada Bani
Isrâîl saat mereka berhasil mengambil alih kekuasaan dari tangan-tangan Raja
yang zalim di Mesir dan Syam[4][6]. Dia juga bersumpah akan menjadikan Islam sebagai agama
yang kokoh dan mengungguli agama-agama lainnya[5][7]. Rasa aman akan tercipta, dan akan menggantikan ketakutan
yang menyelimuti kaum muslimin.
Namun janji Allah tersebut ada
syaratnya. Dalam ayat yang agung ini, setidaknya disebutkan ada 3 syarat yang
harus terpenuhi agar janji-janji Allah di atas bisa terwujud: pertama;
iman dan amal shalih, kedua; beribadah hanya untuk Allah (tauhid), dan ketiga;
menjauhi syirik dengan segala ragamnya, termasuk beramal dengan maksud selain
Allah.
Kemudian barangsiapa yang kufur
nikmat (dengan meninggalkan syarat-syarat di atas) setelah anugrah kejayaan dan
keamanan umat tersebut diraih, maka merekalah orang-orang yang fasik, yang
telah keluar dari ketaatan kepada Allah dan telah berbuat kerusakan[6][8].
Janji
Tersebut, Sudahkah Terwujud?
An-Nahhâs rahimahullâh menjelaskan
bahwa janji Allah dalam ayat tersebut sudah ditunaikan di masa hidup
Rasulullâh. Terbukti dengan penaklukan kota Makkah dan berbondong-bondongnya
manusia di jazirah Arab memeluk Islam [lih. Tafsîr al-Qurthubi: 12/297].
Mufassir yang lain mengatakan bahwa
ayat ini adalah dalil atas kekhalifahan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Ali radhiallâ’anhum
jamî’an. Dengan kata lain, janji Allâh dalam ayat ini terwujud dan eksis
pada masa kekhalifahan mereka. Karena merekalah kaum yang telah beriman kepada
Allâh dengan sebenar-benar Iman, merekalah generasi terbaik dalam menegakkan
ibadah dan amal shalih, menyembah hanya kepada Allâh secara totalitas lahir dan
batin. Demikianlah pendapat adh-Dhahhâk rahimahullâh Sehingga tidak
salah jika Abul ‘Âliyah
rahimahullâh mengatakan, ketika menafsirkan siapa orang-orang yang
dimaksud dalam ayat ini:
هُمْ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
“Mereka adalah para Sahabat Nabi
Muhammad r.” [Tafsir Ibnu Abi Hatim: 8/2627, no. 14760]
‘Abdurrahmân bin ‘Abdilhamîd
al-Mishri rahimahullâh mengatakan:
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَبْدِ
الْحَمِيدِ الْمِصْرِيَّ، يَقُولُ: أَرَى وِلايَةَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، يَقُولُ اللَّهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى: وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأَرْضِ الآيَةَ.
“Saya melihat kekhilafahan Abu Bakar
dan ‘Umar radhiallâhu’anhumâ ada termaktub dalam Kitâbullâh ‘azza wa jallâ,
yaitu dalam ayat: ‘Wa’adallâhulladzîna âmanû minkum….dst” [Tafsir Ibnu Abi
Hatim: 8/2628, no. 14764[7][9]]
Ibnul ‘Arabî rahimahullâh
mengatakan:
وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَذَا الْوَعْدُ
لَهُمْ نَجَزَ، وَفِيهِمْ نَفَذَ، وَعَلَيْهِمْ وَرَدَ، فَفِيمَنْ يَكُونُ إِذًا؟
وَلَيْسَ بَعْدَهُمْ مِثْلُهُمْ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، وَلَا يَكُونُ فِيمَا
بَعْدَهُ
“Jikalau janji (dalam ayat) ini
bukan untuk mereka (para Sahabat), tidak tertunaikan pada mereka, dan tidak
datang untuk mereka, maka kepada siapa lagi kalau begitu? Sementara tidak ada
satupun yang mampu menyamai mereka sampai hari ini, dan tidak pula di masa
depan.” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/297]
Janji
Tersebut, Masihkah Berlaku?
Para ulama ahli tafsir seperti
al-Qurthubi rahimahullâh (wafat: 671-H) berpendapat bahwa janji Allâh
dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Muhammad r. Dalam tafsirnya berliau mengatakan:
هَذِهِ الْحَالُ لَمْ تَخْتَصَّ
بِالْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُخَصُّوا بِهَا
مِنْ عُمُومِ الْآيَةِ، بَلْ شَارَكَهُمْ فِي ذَلِكَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ بَلْ
وَغَيْرُهُم… فَصَحَّ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَخْصُوصَةٍ.
“Janji Allâh ini tidak terbatas
hanya untuk Khulafâ-ur Râsyidîn radhiallâhu’anhum saja, sampai harus
dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhâjirîn dan kaum muslimin yang
lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini (tentu saja jika syarat-syaratnya
terpenuhi-pen)… sampai pada ucapan beliau… Maka pendapat yang shahih adalah
bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad r , tidak bersifat khusus (untuk generasi tertentu dari umat
ini-pen).” [Tafsîr al-Qurthubi: 12/299]
Al-Imâm as-Sa’di rahimahullâh (wafat:
1376-H) mengatakan:
ولا يزال الأمر إلى قيام الساعة، مهما
قاموا بالإيمان والعمل الصالح، فلا بد أن يوجد ما وعدهم الله، وإنما يسلط عليهم
الكفار والمنافقين، ويُديلهم في بعض الأحيان، بسبب إخلال المسلمين بالإيمان والعمل
الصالح.
“(Janji Allâh dalam ayat ini) akan
senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum muslimin) menegakkan
iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allâh, adalah sebuah
kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa, serta
berkuasanya mereka di atas kaum muslimin, tidak lain disebabkan oleh
pelanggaran kaum muslimin dalam iman dan amal shalih.” [Tafsîr as-Sa’di hal.
573]
Makna
“Wa’amilush shâlihât…”
Ibnu Jarîr ath-Thabari menafsirkan
bahwa yang dimaksud dengan “wa’amilush shâlihât” dalam ayat ini adalah; (وأطاعوا الله ورسوله فيما أمراه ونهياه); “mereka
menaati Allah dan Rasul-Nya pada perkara yang diperintahkan dan perkara yang
dilarang oleh keduanya.” [lih. Tafsîr ath-Thabari: 19/209][8][10]
Dalam konteks kekuasaan, ada 4 jenis
amalan lahiriyah yang dijadikan indikasi oleh para ulama atas kekhalifahan
Islam yang termasuk dalam janji ayat ini. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullâh
mengatakan:
وَصَلَاحُ أَمْرِ السُّلْطَانِ
بِتَجْرِيدِ الْمُتَابَعَةِ لِكِتَابِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ وَنَبِيِّهِ
وَحَمْلِ النَّاسِ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ سُبْحَانَهُ جَعَلَ صَلَاحَ أَهْلِ
التَّمْكِينِ فِي أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: إقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ
وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَر
“Kebaikan seorang penguasa adalah
dengan memurnikan ittibâ’ pada Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya, serta
menjadikan orang-orang untuk melakukan hal yang sama. Karena Allâh telah
menjadikan kebaikan bagi Ahlut Tamkîn[9][11]
dengan adanya 4 perkara; penegakan shalat, penunaian zakat, amar ma’ruf dan
nahi munkar.” [Majmû’ al-Fatâwa: 28/242]
Apa yang diungkapkan oleh Ibnu
Taimiyyah tersebut, didasarkan pada firman Allah:
الَّذِينَ إنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي
الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ
وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar…” [QS. Al-Hajj: 41]
Bilamana
Amal Dikatakan Shalih?
Perlu digarisbawahi bahwa suatu
amalan harus memenuhi dua syarat agar bisa dikategorikan sebagai “amal yang
shâlih”; pertama, amal tersebut harus dilakukan ikhlas karena Allâh, dan
kedua, amal tersebut punya landasan syar’i dari sunnah Rasulullâh r yang shahîh. Dengan demikian, amalan-amalan bid’ah yang
tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullâh r dan Khulafâ-ur Râsyidîn, tidak termasuk dalam lingkup
definisi “amal yang shâlih”.
Amalan bid’ah yang banyak merebak di
tengah-tengah kaum muslimin sedikitpun tidak memberikan saham dalam membangun
kekuatan umat Islam. Justru sebaliknya, amalan bid’ah adalah racun yang
melemahkan persatuan kaum muslimin. Tidaklah umat Islam berpecah belah dari
masa ke masa menjadi sekian banyak sekte dan aliran, melainkan bid’ah—khususnya
dalam bentuk ideologi dan pemikiran—, pasti telah mengambil peran yang besar di
dalamnya.
Amalan yang bisa mewujudkan
janji-janji Allah dalam ayat di atas adalah amalan yang benar, amalan yang
sesuai dengan tuntunan Rasulullâh r. Bukan amalan-amalan bid’ah, sekalipun mayoritas manusia
menganggapnya sebagai amalan yang baik.
Makna
“Ya’budûnanî…”
Dalam Tasîr ath-Thabari disebutkan
bahwa makna (يَعْبُدُوْنَنِيْ) adalah (يخضعون لي بالطاعة ويتذللون لأمري ونهيي); “Mereka menundukkan diri pada-Ku dengan ketaatan, dan
mereka menghinakan diri di bawah perintah-Ku dan larangan-Ku.” Mujahid
rahimahullâh mengatakan: (يَعْبُدُوْنَنِيْ) yaitu (لا يخافون غيري); “Mereka
tidak takut kepada selain-Ku.”
Sedangkan makna (لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا) adalah (لا يشركون في عبادتهم إياي الأوثان والأصنام ولا شيئا غيرها، بل يخلصون لي العبادة فيفردونها إليَّ دون كل ما عبد من شيء غيري); “Mereka tidak menyekutukan Aku dalam peribadatan
mereka kepada-Ku dengan sesuatu apapun seperti berhala dan patung-patung, akan
tetapi mereka memurnikan peribadatan hanya untuk-Ku. Mereka mengkhususkan
ibadah tersebut hanya untuk-Ku, tidak untuk segala macam sesembahan selain-Ku.”
Nah, jika kita renungkan hakikat
makna “Ya’budûnani” lalu kita bandingkan dengan realita umat Islam saat
ini, maka mau tidak mau kita akan mengakui bahwa umat di zaman ini masih jauh
dari kemurnian tauhid. Masih banyak di antara saudara-saudara kita yang
terjerembab dalam kubangan lumpur kesyirkan; mereka thawaf di kuburan,
meminta-meminta di kuburan orang shalih (berharap agar shâhibul kubur bisa
memberikan “uluran tangan” dari alam ghaib, sebagai mediator untuk mereka
kepada Sang Khâlik atas segala hajat sekaligus musibah dan kesedihan mereka).
Belum lagi maraknya praktek klenik-perdukunan, menjamurnya orang-orang yang
terbuai oleh janji-janji ramalan bintang, trend Feng-shui, dan
kepercayaan akan kekuatan alam yang mandiri dan lepas dari Qudrâtullâh
(kuasa Allâh).
Di sisi yang lain, manusia-manusia
moderen yang skeptis (tidak percaya) pada hal-hal yang berbau klenik dan
mistik, malah jatuh pada bentuk kesyirikan yang lain, yaitu ketidakpercayaan
terhadap perkara-perakara ghaib yang termaktub dalam al-Qur’ân dan
hadits-hadits yang shahih[10][12]. Sehingga lahirlah keangkuhan atheisme yang mengingkari
eksistensi Allâh (padahal fitrah mereka meyakini keberadaan-Nya)[11][13].
Penyebab
Utama Rasa Takut & Ketidakamanan
Al-Qur’ân menegaskan bahwa penyebab
utama rasa takut yang merasuki orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh
adalah semata-mata karena kesyirikan mereka. Allâh berfirman:
سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ
كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ
“Kami akan campakkan rasa takut ke
dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka telah berbuat syirik kepada
Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan keterangan
tentangnya. Tempat kembali mereka adalah neraka; dan itulah seburuk-buruk
tempat tinggal bagi orang-orang yang zhalim.” [QS. Ali 'Imran: 151]
نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ عَلَى
الْعَدُوِّ
“Aku (Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam) ditolong (oleh Allah dengan
dicampakkannya rasa takut di hati) musuh-musuhku.” [Shahih Muslim no. 523]
Maka jangan sampai kondisi tersebut
berbalik justru menimpa kita, gara-gara kesyirikan yang tumbuh marak di
tengah-tengah kaum muslimin.
Kalimat
Penutup
Artikel
ini kami tulis saat “Bandit Dunia” berlabel “Yahudi” kembali menghujani
Gaza-Palestina dengan rudal-rudal pembunuh. Tanpa pandang bulu. dan tanpa
Bayi-bayi suci tanpa dosa diangkat dalam keadaan bertabur debu dari balik puing
reruntuhan. Darah saudara-saudara kita di sana kembali bersimbah. Yang hidup di
antara mereka, tidur dalam tangis dan rasa takut yang mencekam. Seolah berbagai
himpitan hidup tidak ditemukan berkumpul di satu tempat kecuali di sana. Inikah
“nasib malang” yang akan senantiasa menemani kita umat Islam? Dan inikah “nasib
mujur” yang senantiasa bersama mereka (Yahudi dan Kuffâr)?
Husnus-zhân billâh (prasangka baik terhadap ketentuan Allâh) dan optimisme haruslah
senantiasa tertanam di dada-dada kaum muslimin. Karena pada akhirnya roda
kejayaan akan berhenti berputar tepat saat Islam dan kaum muslimin berada di
titik puncak.
Renungkanlah sabda Rasulullâh r berikut ini:
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ، قَالَ:
بَيْنَا أَنَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَاهُ
رَجُلٌ فَشَكَا إِلَيْهِ الفَاقَةَ، ثُمَّ أَتَاهُ آخَرُ فَشَكَا إِلَيْهِ قَطْعَ
السَّبِيلِ، فَقَالَ: «يَا عَدِيُّ، هَلْ رَأَيْتَ الحِيرَةَ؟» قُلْتُ: لَمْ
أَرَهَا، وَقَدْ أُنْبِئْتُ عَنْهَا، قَالَ «فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ،
لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ
لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ، – قُلْتُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِي
فَأَيْنَ دُعَّارُ طَيِّئٍ الَّذِينَ قَدْ سَعَّرُوا البِلاَدَ -، وَلَئِنْ
طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتُفْتَحَنَّ كُنُوزُ كِسْرَى» ، قُلْتُ: كِسْرَى بْنِ
هُرْمُزَ؟ قَالَ: ” كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ، وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ،
لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ،
يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ فَلاَ يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ … قَالَ
عَدِيٌّ: فَرَأَيْتُ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ حَتَّى تَطُوفَ
بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ إِلَّا اللَّهَ [ص:198]، وَكُنْتُ فِيمَنِ افْتَتَحَ
كُنُوزَ كِسْرَى بْنِ هُرْمُزَ وَلَئِنْ طَالَتْ بِكُمْ حَيَاةٌ، لَتَرَوُنَّ مَا
قَالَ النَّبِيُّ أَبُو القَاسِمِ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخْرِجُ
مِلْءَ كَفِّه
“Dari ‘Ady bin Hâtim dia
menceritakan: ‘Suatu ketika aku berada di sisi Nabi r tiba-tiba seorang pria menghampiri beliau seraya mengeluhkan
kefakiran yang menimpanya. Kemudian datang pria lain mengeluhkan maraknya
perampokan di jalan (tidak ada rasa aman)’. Lantas beliau r berkata: ‘Wahai ‘Ady, pernahkah engkau melihat Hîrah
(sebuah tempat di Iraq, dekat Kûfah)’. Aku katakan: ‘Aku belum pernah
melihatnya, namun aku pernah dikabari tentangnya’. Beliau r berkata: ‘Jika umurmu panjang, sungguh engkau akan melihat
seorang wanita akan melakukan perjalanan dari Hîrah untuk thawaf di Ka’bah, dia
tidak merasa takut kepada siapapun kecuali hanya pada Allâh’. Aku berkata dalam
hati: ‘Lantas kemana perginya, orang-orang bejat yang membuat fitnah dan
huru-hara di negeri-negeri?’ Beliau r berkata: ‘Jika usiamu panjang, sungguh suatu saat akan
dibuka perbendaharaan Raja Kisrâ’. Aku berkata: ‘Kisrâ bin Hurmuz’? Beliau r berkata: ‘Ya, Kisrâ bin Hurmuz. Andaikata umurmu masih
panjang, engkau akan menyaksikan seorang mengeluarkan segenggam penuh emas atau
perak di tangannya, dia mencari orang yang sudi menerimanya, namun ia tidak
mendapatkan seorangpun yang mau menerimanya’… … ‘Ady berkata: ‘Aku telah
menyaksikan ada seorang wanita yang bepergian dari Hîrah sampai ia thawaf di
Ka’bah, tidak ada seorangpun yang ia takuti kecuali hanya Allah. Dan aku (kata
‘Ady) adalah termasuk orang yang menaklukkan Kerajaan Kisrâ dan membuka
perbendaharaannya[12][14].
Sungguh jika umur kalian panjang, kalian akan menyaksikan kebenaran sabda
Rasulullâh r tentang laki-laki yang mencari-cari orang yang sudi
menerima pemberian emasnya (inilah gambaran betapa makmur, aman dan tentramnya
kehidupan umat Islam saat itu, dan ini merupakan janji yang bersifat pasti
-pen).” [Shahîh al-Bukhâri: 3595]
Abu Hurairah radhiallâhu’anhu
meriwayatkan bahwasanya Rasulullâh r pernah bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ، فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى
يَخْتَبِئَ الْيَهُودِيُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ، فَيَقُولُ
الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ: يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللهِ هَذَا يَهُودِيٌّ
خَلْفِي، فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ، إِلَّا الْغَرْقَدَ، فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ
الْيَهُودِ
“Kiamat tidak akan terjadi sampai
kaum muslimin memerangi Yahudi. Kaum muslimin membinasakan mereka sampai-sampai
mereka bersembunyi di balik batu dan pepohonan, maka saat itulah batu dan pohon
berkata: ‘Wahai muslim, wahai hamba Allâh, ini Si Yahudi bersembunyi di
balikku, kemari! Bunuhlah dia! Kecuali pohon Gorqod, karena ia adalah pohon
Yahudi.” [Shahîh Muslim: 2922]
Dalil-dalil di atas, sangat lugas
dan jelas dalam menegaskan bahwa masa depan dunia ada di tangan Islam.
Kemenangan, toh pada akhirnya milik Islam dan kaum muslimin. Namun yang menjadi
inti permasalahan adalah: ‘Kapankah kita berupaya menggolongkan diri ke
dalam Ahlut Tamkîn yang dipuji dalam ayat-55 Surat an-Nûr ini?’.[13][15]
Wallâhuta’âla
A’lam
***
[14][1] Dalam kitab beliau ash-Shahîhul Musnad min Asbâbin Nuzûl
hal. 151, Cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah – Kairo, 1408-H.
[15][2] Menurut al-Hâkim (wafat: 405-H) riwayat ini shahih, dan
disepakati oleh adz-Dzahabi. Lih. Al-Mustadrak no. 3512, Tahqîq:
Musthafa Abdul Qâdir ‘Athâ.
[1][3]Cet. Mu-assasah ar-Risâlah,
1420-H, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syâkir.
[2][4]Cet.-1 Dârul Wathan – Riyâdh,
1418-H, Tahqîq: Yâsir Ibrâhîm & Ghunaim ‘Abbâs Ghunaim.
[3][5] Lihat makna “istakhlafa”
dalam Mu’jamul Alfaazhil Qur’ânil Karîm: 1/369, disusun oleh sekumpulan
ulama yang diketuai oleh DR. Ibrahîm Madkûr, Cet. 1409-H, Jumhûriyyah Mishr
al-Arabiyyah.
[4][6] Sebagaimana tafsiran Qatadah
yang disebutkan dalam Tafsîr al-Baghawi (3/425, Cet.-1 Dâr Ihyâ’
at-Turâts, 1420-H, Tahqîq: Abdurrazzâq al-Mahdi).
[5][7] Sebagaimana tafsiran Ibnu
Abbâs yang disebutkan dalam Tafsîr al-Baghawi (3/425).
[6][8] Lih. Tafsîr as-Sa’di
hal. 573, Cet. Mu-assasah ar-Risâlah, 1420-H.
[7][9]Cet.-3 Nizâr Musthafâ al-Bâz,
1419-H, Tahqîq: As’ad Muhammad Thayyib.
[8][10] Adapun makna (لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ)
adalah (ليورثنهم الله أرض المشركين من العرب والعجم،
فيجعلهم ملوكها وساستها); “Allah akan mewariskan kepada
mereka (orang-orang yang beriman dan beramal shaleh) negeri orang-orang musyrik
dari kalangan Arab maupun Non-Arab, lantas mereka menjadi penguasa-penguasa di
negeri tersebut.”
Sedangkan makna (وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ
دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ) adalah (وليوطئنّ لهم دينهم، يعني: ملتهم التي ارتضاها
لهم، فأمرهم بها); “Allah akan mengokohkan pijakan agama
mereka, yaitu agama mereka yang diridhai Allah untuk mereka, yang diperintahkan
oleh Allah untuk beragama dengannya (yaitu Islam).”
Dan makna (وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ)
adalah (وليغيرنّ حالهم عما هي عليه من الخوف إلى الأمن);
“Dan Allah akan menggantikan keadaan mereka dari ketakutan menjadi aman.”
[9][11] Orang-orang yang dianugerahi
kekuasaan oleh Allâh lantas mereka menegakkan syari’at Allâh.
[10][12] Sehingga muncullah agama
sesat baru bernama Sciencetology yang dibuat oleh L. Ron Hubbard
(1911-1986). Dianut oleh mereka yang mengaku sebagai manusia-manusia hi-tech.
Mereka beranggapan bahwa Iptek adalah tokoh utama yang menentukan takdir
manusia dan alam semesta. Dalam bahasa yang lebih sederhana, sejatinya mereka
telah menjadikan Iptek sebagai “Tuhan”. [lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Scientology]
[11][13] Guru kami al-Ustadz
al-Fâdhil Masyhuri Badran hafizhahullâhuta’âla menambahkan: “Ini
dikarenakan mereka berpaling dari ayat-ayat kauniyyah Allâh (bukti-bukti
keberadaan dan kekuasaan-Nya) di alam semesta, sebagaimana yang diungkapkan
oleh Syaikh Shâlih Fauzan dalam Kitâbut Tauhid jilid yang pertama.”
[12][14] Syaikhul Islâm menyebutkan
bahwa penaklukan Kisrâ ini (termasuk Qaishar Romawi) terjadi pada masa
kekhalifahan ‘Umar bin Khath-thab radhillâhu’anhu, dan harta-harta
Kisrâ serta Qaishar diinfakkan oleh ‘Umar di jalan Allâh. [Majmû’ al-Fatâwa:
25/304]
[13][15] Sebagai tambahan silahkan
membaca tulisan kami yang berjudul “Bantulah Palestina dengan Taqwamu”
Tulisan ini membahas amalan (yang tampak sepele) namun justru menjadi kunci
kemenangan Islam di masa lampau. Dibawakan juga penjelasan ulama salaf bahwa
bantuan Bala Tentara Malaikat untuk tentara Rasulullâh dan
para Sahabat, akan senantiasa ada untuk kaum muslimin sampai hari kiamat. Hanya
saja, bagaimana meraihnya?
KEPEMIMPINAN : TAFSIR SURAT ANNUUR AYAT 55
Reviewed by RA ALMAWADDAH
on
21.46
Rating:

Post a Comment